Membenahi Arah Reformasi

Ketika diri dan jiwa tak berkekuatan (baca: malas), maka segala jejalan angan-angan hidup akan segera terkubur dalam sebuah kesunyian. Tak bergeming sedikit pun dan hanya penyesalanlah yang akan didapatkan manusia lalai (al-wailun) serta tidak pernah mau mengasah diri dengan life skill, pendidikan, dan keahlian mengambil peluang ketika sebuah kemalangan menerjang. Pantas saja, bangsa ini dari tahun ke tahun tak menampakkan secercah cahaya kemajuan dalam pelbagai aspek kehidupan.Hal itu adalah imbas negatif yang dibawa kemalasan. Alhasil, bangsa ini seakan kehilangan “bisa”, apalagi kalau berada di tengah-tengah Negara digjaya, kita seakan menjadi bangsa kerdil yang tak diperhitungkan. Bahkan, paling banter hanya dijadikan sebagai wilayah transaksi pengurasan potensi alam saja. Namun, kita tak menyadari bahwa pengurasan tersebut merupakan penginjakan bangsa asing yang tak menghargai jati diri bangsa. Sehingga eksistensi bangsa tak pernah dianggap ada (wujudu kaadamihi) walaupun dari kalangan muda dan kaum tua ada yang menyuarakan suara kor penolakan terhadap praktik tak berperikemanusiaan dan berperikehutanan bangsa asing tersebut. 
Bulan September 2007, salah satu sungai di Kalimantan Timur tercemar limbah industri sehingga berdampak terhadap perkembangan sosial, ekonomi, politik, bahkan budaya 2000 warga yang teraliri aliran sungai. Dua bulan kebelakang, kondisi ekosistem hutan di sekitar perusahaan Freeport misalnya, semakin degradatif dari tahun ke tahun sehingga berekses negatif terhadap produktivitas alam Provinsi Papua ke depan. Bahkan, gunungan sampah di Bantar Gebang, seakan menjadi pelajaran berharga (al-ibrah) bahwa sistem pengelolaan sampah di Indonesia masih menggunakan cara yang tidak arif.
Dengan kondisi di atas, tak salah kiranya kalau Buya Safi’I Ma’arif menganggap bahwa bangsa kita cenderung menggunakan politik rabun ayam. Karena kebijakan yang dicetuskan tidak populis, tidakvisioner, tidak reformatif, tidak revolutif, bahkan tidak memiliki semangat untuk maju (tamaddun). Coba saja kita lihat perilaku ayam yang berpandangan rabun. Ia (ayam) tidak akan pernah satu kali pun melihat dengan jelas segala sesuatu yang berada dihadapan dengan jarak sepuluh meter. Alhasil, aktivitasnya hanya berputar di sekitar itu-itu saja dan tidak pernah ada perubahan yang signifikan.
Begitu juga dengan kondisi bangsa kita hari ini. Setelah tujuan ideal reformasi tahun 1998 berhasil menggulingkan pemerintahan otoritarian Suharto; ternyata tidak serta merta direspon oleh para politikus bangsa ini. Pada akhirnya, dua belas tahun pasca reformasi itu berlalu kemajuan bangsa seakan menjadi sesuatu yang sulit untuk diraih dan diwujudkan. Korupsi, mafia hukum, nepotisme, kriminalitas, dan amoral pejabat tak lantas hilang dari bumi Indonesia.
Maka, tak heran jauh-jauh hari Allah SWT mengabadikan pesan perenialisme gerakan reformasi dalam sebuah ayat-Nya: “Sesungguhnya Allah tidak akan (pernah) merubah kondisi suatu kaum (bangsa), sehingga mereka mengubah sesuatu yang ada pada diri mereka sendiri” (Q.S. Ar-Ra’d: 11). Salah satunya adalah mereformasi wilayah “personality” generasi muda sebagai roda penentu kemajuan bangsa yang pada saat ini sedang membutuhkan kader-kader yang handal, jujur dan berjiwa reformatif dalam segala bidang.
Tujuannya agar kedaulatan bangsa dan Negara terbangun secara ajeg dan tahan banting. Namun, sudah berdaulatkah bangsa dan Negara tercinta ini? Sebuah pertanyaan yang sangat susah dicari jawabannya karena kendati bangsa ini telah merdeka selama 60 tahun lebih masih tetap belum berdaulat. Ketika politik global demikian mencengkram pun, negeri Indonesia seakan tidak mampu mengajegkan martabat seperti halnya Malaysia sehingga cenderung menjadi bangsa penurut atau pengekor.
Oleh sebab itulah, memperbaiki roda bangsa agar dapat menggelinding kembali adalah sebuah keniscayaan. Roda kemajuan bangsa itu salah satunya terletak di pundak pemuda yang memiliki kecakapan intelektual, moral dan kecerdasan mengelola aktus sehingga dapat mengubah kondisi bangsa ke arah yang lebih baik. Tidak malah mengubahnya ke kondisi yang buruk, apalagi kalau sampai menghancurkan segala potensi alam yang terkandung di negeri berpuluh-puluh ribu pulau dan sebagai penjelmaan alam kosmologis surga (nuqilat al-zannah) ini.
Di tengah bangsa yang tengah bergelut dengan ragam masalah, baik politik, social, budaya, dan ekonomi; kita memerlukan ikatan persaudaraan dalam setiap jiwa. Perbedaan jangan menjadikan kita pulah-pilih memajukan bangsa ini. Sehingga tercipta kerukunan antarumat dalam bingkai keindonesiaan. Dengan kerukunan itulah, kita dapat bekerja bersama-sama memajukan negeri ini dengan kolektivisme progresif dan konstruktif. M. Quraish Shihab (2002) berpandangan bahwa kerukunan adalah pokok dari ajaran Islam yang bisa dilihat dari: 1). Ukhuwah fi al-‘ubudiyah (persaudaraan seluruh makhluk), 2).Ukhuwah fi al-insaniyah (persaudaraan seluruh umat manusia), 3). Ukhuwah fi al-wathaniyah(persaudaraan dalam kebangsaan), dan 4). Ukhuwah fi din al-islam (persaudaraan antar sesama muslim).
Last but not least, kerusakan roda bangsa harus mulai kita perbaiki agar lajunya mulus tanpa hambatan apa pun. Terutama roda kemajuan yang telah rusak parah, seperti kondisi generasi muda yang ternina-bobokan gemerlap konsumerisme, dan tentu saja harus diganti ulang dengan roda yang lebih gress dan kuat. Ya, roda yang lebih gress tersebut adalah generasi muda yang berkecakapan luhung nan agung.Insyaallah perubahan bangsa akan kita raih bersama-sama dengan cemerlang secermelang sinar bintang-bintang di langit nun jauh di sana. Semoga saja! Wallahu A’lam

Tags:

About author

Curabitur at est vel odio aliquam fermentum in vel tortor. Aliquam eget laoreet metus. Quisque auctor dolor fermentum nisi imperdiet vel placerat purus convallis.

0 comments

Leave a Reply